Desa Mulyasari (Karawang Info) - Tahun 1976, H. Suwanda menciptakan tepak kendang serta tariannya. Tepak kendang itu dipertunjukkan di tempat hajatan dan banyak yang menyukainya. Kemudian tepak kendang itu direkam oleh salah satu perusahaan rekaman kaset audio, untuk diterbitkan. Tepak kendang itu belum ada namanya. Sedangkan untuk dipublikasikan jenis musik harus ada namanya.
Berunding dengan tokoh seni Dalang Reman, ditambah ide dari bodoran Topeng Banjet Ali Saban, akhirna H. Suwanda menemukan istilah jenis seni itu, yaitu Tepak Jaipong atau Jaipongan.
Bodoran yang menjadi ide itu yaitu, tokoh Si Saban (Ali Saban) dan Si Ijem (Emas/Bi Ijem) dari Grup Topeng Banjet Ali Saban, mencoba kemampuan juru kendangnya, untuk meniru suara kalimat dengan tepak kendang. Kalimatnya,” Mundur, mundur, mundur. …. Maju, maju, maju….. Blaktingpong, blaktingpong! Blaktuk, blaktuk!” Lalu “Blaktingpong, blaktingpong!” dirubah menjadi “Jaipong, jaipong!”
Bodorannya, waktu Ijem mengucapkan kalimat “Mundur, mundur, mundur.” Ali Saban sambil menari berjalan maju. Waktu Ijem ngucapkeun “maju, maju, maju.” Ali Saban sambil menari berjalan mundur. Demikian pertunjukan bodoran topeng Ali Saban di panggung yang juru kendangnya H. Suwanda di tempat hajatan di Karawang dan sekitarnya.
Kaset audio yang beredar di Karawang jadi andalan bagi yang mengadakan hajatan “niis” (tidak dengan hiburan pertunjukan langsung). Yang punya hajat “nanggap” kaset (kaset audio yang dijalankeun tape recorder) Topeng Banjet “Daya Asmara” pimpinan Ali Saban memakai “sompok” (loud speaker jenis horn) yang listriknya dari aki.
Dalam pikiran warga Karawang pasti terbayang, bodoran “Mundur, mundur, mundur….. Maju, maju, maju….. Jaipong, jaipong! …. Baktuk, blaktuk!” Ali Saban menari, dengan H. Suwanda sebagai juru kendangnya. Waktu itu, hiburan yang dominan di masyarakat Karawang, selain dari acara TVRI dan “dongeng Sunda” di radio, yaitu “Topeng Banjet” dan “Kiliningan” yang berubah menjadi “Jaipongan.” Walaupun tidak punya tape recorder sendiri, minimal mereka mendengarkannya di tetangganya.
H. Gugum Gumbira mengembangkan, “memodernkan”, seni Jaipong Karawang hingga terkenal ke mana-mana, sampai ke mancanagara. H. Suwanda dan H. Gugum Gumbira mempertunjukkan jaipongan di kedutaan-kedutaan RI, di antaranya di Srilangka dan Jerman. Kemudian mereka dipanggil oleh yang pernah menontonnya, untuk dipertunjukkan di kota-kota yang ada di sekitar kedutaan RI di mancanagara.
“Nepak kendang” memakai siku yang kini diajarkan di perguruan tinggi, dan dipertunjukkan di mana-mana dalam bentuk “rampak kendang”, mungkin tak ada yang menyangka idenya dari Bah Awing, tokoh Topeng Banjet Karawang yang dikenal sebagai “Bah Rewok”, serta dipopulerkan oleh H. Suwanda.
Lagu “Talak Tilu” yang sekarang ada yang dipertunjukkan dalam video CD bajakan, dinyanyikan oleh artis “organ tunggal” (keyboard) sambil membungkuk dan menggerak-gerakkan pantat serta setengah telanjang, dan tentunya membuat bulu-bulu merinding, hanya sedikit yang tahu bahwa lagu itu diciptakan oleh H. Suwanda, serta waktu itu yang menyanyikannya memakai pakaian adat Sunda yang rapi dan sopan.
Yang menulis buku, membahas Jaipongan, bahwa Jaipongan diciptakan di Bandung oleh H. Gugum Gumbira dari tarian rakyat Karawang. Kemudian buku itu jadi sumber pengarang lainnya, jadi sumber lagi, begitu seterusnya, sambung-menyambung. Ada yang tak sesuai dengan fakta tentang Jaipongan, sehingga sabagian data sejarah jaipongan yang sabenarnya melenceng. Situs Internet Wikipedia juga menguraikan Jaipongan dari buku, tidak mengadakan konfirmasi kepada juru kendangnya. Oleh karena itu, Jaipongan juga tersebar ke seluruh dunia melalui Internet berdasarkan data dari buku.
H. Suwanda, juru kendang yang menciptakan pola tepak Jaipong itu, lahir di Citopeng Desa Bolang Kecamatan Batujaya, Karawang, 3 Maret 1950. Kini rumah serta padepokannya berada di Krajan RT 06/05 No. 24 Kelurahan Tanjungmekar Kecamatan Karawang Barat, Karawang. (Sunta Atmaja)
0 Komentar