Tentang Pahlawan Bercaping Bambu yang Selalu Tersenyum Lewati Segala Krisis

Info Absurditas Kata
0
Desa Mulyasari (Karawang) - Tidak diragukan lagi petani adalah patriot adalah pahlawan. Merekalah orang-orang yang selalu setia kepada negara dan bangsanya. Sejarah petani  adalah sejarah kesetiaan.

Pada masa kerajaan baik masa kerajaan hindu maupun setelah kerajaan Islam, petani merupakan elemen sosial yang tidak menolak apa pun dari kebijakan-kebijakan kekuasaan pada zamannya. Bahkan ketika mereka memang dikelaskan sebagai kelompok lapisan masyarakat terendah.

Perahu-perahu raja saat itu tidak berisi pasukan yang mengamuk melainkan berisi rempah dan aneka pangan yang dipasarkan ke berbagai belahan nusa pada zamannya.

Ketika kapitalisme di belahan Eropa merebak dan melahirkan imperialisme, ketika perahu-perahu dari benua biru itu menyebar ke sumber-sumber pangan lain di belahan Bumi, termasuk Indonesia. Ketika itulah petani menjadi pekerja paksa, terlempar dari dimensi manusiawinya.

Petani, Pahlawan Kedaulatan Bangsa dan Negara


Kaum penjajah memperlakukan petani sebagai budak, mereka dipaksa bekerja tanpa mendapatkan hak-haknya sebagai manusia, termasuk hak untuk menyekolahkan anak-anaknya. Di bawah kekuasaan Raffles  nasib petani Indonesia semakin tragis.

Pada tanggal 18 September 1811, penjajah mengeluarkan “perjanjian Tuntang”, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Menghapus segala penyerahan wajib dan kerja paksa (rodi), 
  2. Pemerintah kolonial adalah pemilik semua tanah yang ada di daerah Jajahan, mereka yang menggarap tanah adalah penyewa tanah pemerintah. 
  3. Petani penggarap wajib membayar sewa tanah (landrent), yang harus diserahkan sebagai pajak kepada pemerintah.
Perjanjian tersebut semakin menjerembabkan petani Indonesia pada kemiskinan. Tragika yang di kemudian hari, di bawah kekuasaan Van den Bosch mengalami titik paling kritis dengan diberlakukannya cultuur stelsel (tanam paksa) dengan ketentuan sebagai berikut:
  • Rakyat wajib menyediakan seperlima bagian tanahnya untuk tanaman ekspor, 
  • Tanah untuk tanaman ekspor dibebaskan membayar pajak, 
  • Jenis tanaman ditentukan pemerintah penjajah, hasilnya harus diserahkan semua kepada pemerintah, 
  • Wajib tanam paksa dapat digantikan dengan bekerja dibagian pengangkutan dan pabrik-pabrik, 
  • Kegagalan panen menjadi tanggung-jawab pemerintah. 
  • Ditambah dengan statment  Van den Bosch bahwa mereka yang telah bekerja 66 hari dalam setahun dapat dibebaskan membayar pajak.
Pada praktiknya, semua ketentuann di atas banyak yang tak terwujud, petani harus menyediakan tanah utuh, tetap membayar pajak, dan sebagainya. Alhasil nasib petani Indonesia semakin terpuruk, dihantam kelaparan dan kematian.


Patriot Bercaping Bambu
Petani dalam segala kepapaannya merupakan elemen sosial yang selalu berada dalam barisan paling depan menegakkan kemerdekaan. Petani akan selalu bersedia untuk memberikan nyawanya demi bela negara, bahkan ketika semua itu harus dilakukan hanya dengan berbekal bambu runcing.

Pada masa persiapan kemerdekaan, petani mulai terhimpun dalam wadah organisasi, masyarakat Indonesia mulai melakukan perlawan dengan gerakan organisasi politis yang ditandai dengan lahirnya Indische Partij pada tahun 1912.

petani adalah pahlawan

Pada tahun 1933 bersama Organisasi Sarikat Tani yang memainkan peran politis dan fragmatis dalam melakukan perlawan terhadap penjajah. Petani menjadi supplier pangan bagi tentara dan pemuda yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Kemudian pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Bagaimana dengan nasib petaninya?

Bila kemerdekaan dimaknai secara radikal sebagai kedaulatan, tentu Indonesia belum merdeka karena di dalamnya sampai saat ini para kedaulatan petani masih entah di mana. Petani Indonesia di zaman kemerdekaan dan era informasi ini, masih saja digebuki dengan aneka konflik dan kepayahan hidup lainnya.

Takk diragukan lagi petani adalah patriot bangsa. Sudah saatnya kita semua memberikan penghormatan sebesar-besarnya kepada para petani, sebagai pahlawan kedaulatan bangsa dan negara.

Sumber gambar: http://blog.umy.ac.id/rahmadtm/files/2012/10/Mencangkul-disawah.jpg

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)